Sunday, June 26, 2016

Jatah-jatahan

Once upon a time, there are 3 children named Ajeng, Astika, dan Azaria. They lived happily and harmoniously.
Bohong deng, seringan bertengkar dan teriak-teriakannya. Tapi, kalau salah satu atau salah dua pergi kangen. Ah, that's how siblings should be, tho?
Punya saudara perempuan, dua pula, itu kadang ada enak dan nggak enaknya memang. Tapi bahasan enak nggak enaknya lain kali aja deh.. saya mau cerita masalah jatah-jatahan kita bertiga.
Mama saya adalah orang yang sangat apik dalam mengelola uang, walaupun papa dan mama berkecukupan (Alhamdulillah waa Syukurillah) kita bertiga nggak pernah sama sekali dibekali uang berlebihan. Kalau perlu ya minta, disertai "proposal" uangnya berapa banyak? buat beli apa? beneran perlu atau nggak? yang lama kemana, apa sudah rusak?
Saking apiknya, setiap bulan ketika datang waktu belanja bulanan dan kami semua pergi ke Supermarket, mama "menjatah" kami bertiga. Jatah ini bukan dalam bentuk uang ya, no no no, tapi dalam bentuk pembelian barang. Namanya anak-anak, pasti liat makanan, snack, es krim, dan lain sebagainya yang terpampang di Supermarket itu suka dan maunya ambil yang banyak semau-maunya, tapi itu tidak berlaku buat mama. Dalam rangka mendidik anak-anaknya menjadi cerdas dan beradab *apasih* mama menetapkan batas pembelian. 1 anak cuma boleh beli snack maksimal 3! atau kalau lagi baik maksimal 5! Karena ada maksimalnya, beneran dipikirin lho mau beli apa. Bahkan sebelum sampai Supermarket. Enak ya jadi anak-anak, galaunya mikir snack
Kalau sekarang pasti kecut banget ya dijatah begitu, tapi kami oke-oke aja dan nurut tuh dulu. Malah, sekarang hal itu jadi semacam nostalgia buat kami bertiga secara sekarang sudah kerja, punya uang sendiri, dan bisa beli apapun yang dimaui.
Selain makanan, dulu mama, diwakili oleh emak sang bos dapur, menjatah kami kalau makan lauk. 1 anak 1 lauk.  Jadi kalau makan ayam ya 1, empal ya 1, kalau makan rawon 1 anak jatahnya 5 potong daging. Epic story of my childhood my dear friends *evil laugh* Tertib lho kita, sama sekali nggak ada niatan menggondol lauk saudara yang lain. Makan 1 ya sudah, selesai. Makan dirumah orang pun begitu, nggak ada acara setelah makan ayam lalu mencuil ayam orang lain (ada lho orang kaya gini, pengalaman pribadi)
Tapi anehnya, kok kangen dijatah sama mama kaya dulu. Dulu, karena dijatah, jadi makanan itu berasa enak dan nikmat. Merasa makanan itu "mahal" dan istimewa karena jarang ada, kalau ada pun dalam jumlah terbatas. Kalau sekarang sih kalau mau makan ya beli, mau snack 10 biji pun berangkat sendiri ke Hyper. Tapi hikmah dijatah, makan lauk apa aja tetep cukup bersama nasi 1 piring (apa, 1 piring?? makanya gendauuuttss), dan.. seenak-enaknya makanan beli diluar tetep enak masakan mama (dan emak)
Apa memang gitu ya, kita baru sadar mensyukuri sesuatu kalau tau jumlahnya terbatas. Bersyukur atas manfaat barang itu ketika barangnya sudah nggak ada? Apa iya bersyukur itu dijatah tiap kita seneng aja?
Berat ya pertanyaan di paragraf atas

xoxo,
Ajeng

No comments: